Dari 100.000 kelahiran, Indonesia
'menyumbang' 240 kematian bagi ibu yang melahirkan. Bandingkan dengan
Yunani yang hanya 10 kematian untuk 318.000 kelahiran!
Foto: IstimewaKELAHIRAN merupakan
proses yang sangat dinantikan pasangan suami istri karena saat itulah,
buah hati hadir diantara kita. Namun, tahukah Anda bahwa proses
melahirkan juga merupakan ancaman bagi kehidupan wanita, terutama di
Indonesia.Betapa tidak, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi Se- ASEAN. Jumlahnya mencapai 240 per 100.000 kelahiran hidup. Bandingkan dengan Yunani yang hanya 1 kematian di antara 31.800 orang ibu melahirkan (1/31.800) atau 10/318.000.
AKI tertinggi di Indonesia pada daerah termiskin di Nusa Tenggara Timur sementara AKI terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengapa AKI bisa menjadi tertinggi di Indonesia? Shelly Adelina, pengajar di Program Studi Kajian Gender, Program Pasca Sarjana UI menjelaskan hal ini terjadi karena tidak terperhatikannya kesehatan reproduksi wanita sejak kecil, remaja, bahkan saat menjadi wanita dewasa.
Selain itu kurangnya sosialisasi pentingnya memperhatikan kesehatan reproduksi wanita. Mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, sekolah, dan lainnya.
"Tak ada pendidikan yang jelas dan kita pun hidup dalam mitos yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Misal, kalau lagi mens dilarang makan ikan karena bau amis, padahal ikan kan proteinnya tinggi. Ada juga wanita hamil dilarang makan kacang-kacangan, minum susu, dan lainnya," jelas Shelly.
Masalah budaya juga memberi kontribusi yang tinggi terhadap kematian ibu saat melahirkan. "Ada kan, suku di Indonesia yang belum merasa punya anak kalau belum melahirkan anak laki-laki, terus si istri disuruh hamil dan melahirkan lagi sampai mendapat anak yang diinginkan," jelas Shelly.
Menurut Shelly, budaya-budaya seperti ini menyumbang '4 T' yakni terlalu tua usia untuk melahirkan, terlalu muda usia melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak melahirkan. Selain itu juga bersifat kedaerahan juga keagamaan, seperti tidak diperbolehkan ikut menjalankan program keluarga berencana dengan menggunakan berbagai macam alat kontrasepsi.
Revisi Undang-Undang yang Lambat
Di sisi lain, pembahasan revisi UU No 39 tahun 2009 tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) masih ada di DPR RI, artinya belum tuntas. Kita tahu, pembahasan tentang sebuah revisi UU melibatkan banyak fraksi dengan berbagai kepentingan. Tidak semua fraksi satu suara tentang beberapa pasal dan klausul di dalam RUU tersebut.
Ada beberapa klausul yang masih penuh debat misalnya tentang aborsi. Fraksi-fraksi yang notabene merupakan wakil-wakil rakyat yang berasal dari partai-partai bernafaskan agama tertentu -yang bisa disebut sebagai partai dengan pemikiran agama yang non-progresif- sangat berkeberatan dengan legalisasi tindakan aborsi apapun alasannya.
"Ini salah satu masalah yang belum ada titik temu secara terang. Sementara fraksi lain yang didukung oleh civil society menghendaki dibolehkannya aborsi dengan pengaturan dan persyaratan tertentu," ulas Shelly.
Jadi, bagaimanapun juga alotnya pembahasan RUU ini tidak lepas dari sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi suatu isu. Padahal isu aborsi memang termasuk yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu di Indonesia saat melahirkan, karena banyak perempuan yang terpaksa menyerahkan penanganan aborsinya ke tenaga non-medis.
Majelis-majelis agama juga berpendapat, bahwa dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Kesehatan terdapat pasal-pasal krusial yang tidak sesuai dengan ajaran agama, termasuk diantaranya pasal 76 huruf a yang antara lain menyatakan aborsi boleh dilakukan pada janin yang belum berusia enam minggu.
Sementara menurut fatwa MUI, janin yang boleh digugurkan atas indikasi medis dan kedaruratan hanya yang belum berusia 40 hari karena dianggap belum ditiupkan ruh kepadanya, demikian seperti yang diungkap oleh Ketua MUI Ma'ruf Amin.
Adapun perwakilan umat Buddha Indonesia mengatakan, menurut ajaran Buddha, kehidupan bermula sejak penyatuan sel telur dengan sperma sehingga sejak saat itu upaya penghilangannya adalah pembunuhan.
Dari pihak agama Katolik juga jelas melarang segala bentuk abortus provokatus. Kalaupun terpaksa harus dilakukan karena indikasi medik, dasar pelaksanaannya harus untuk menyelamatkan kehidupan. Dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia juga menyatakan bahwa ajaran Hindu dan Konghucu melarang segala bentuk aborsi.
"Tidak terpikirkan oleh para penentang aborsi tersebut, bagaimana dengan perempuan-perempuan yang menjadi korban perkosaan yang mengandung janin yang tidak mereka kehendaki? Atau bagaimana nasib ibu-ibu rumah tangga yang mengalami gagal KB?" ujar Shelly.
Sementara mereka tidak siap lagi secara lahir-bathin untuk menanggung beban kehamilan dan kondisi pasca melahirkan sampai tahap mengasuh dan merawat anak-anaknya hingga besar.
Upaya Pemerintah
Sesungguhnya banyak hal yang sangat beralasan bagi seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya, apalagi jika terkait dengan kondisi mental dan fisiknya. Hal ini tidak pernah menjadi pertimbangan bagi kelompok-kelompok agama yang dengan kaku memandang suatu isu, menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Mereka hanya bisa melarang tanpa mampu memberikan solusi.
Juga, menyediakan tenaga medis (dokter dan perawat) dalam jumlah yang proporsional. Meskipun, untuk hal ini mungkin baru merata di Pulau Jawa. Sementara di pulau lainnya seperti Nusa Tenggara, Kalimantan, Papua, Kepulauan Maluku, bahkan Sumatera, tidak tahu seperti apa.
Di Kalimantan misalnya, ujar Shelly, banyak kabupaten masih sangat bergantung pada transportasi air. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan dengan dinas-dinas kesehatannya berusaha melatih dan mengarahkan (bekerja sama) dengan tenaga non medis seperti dukun-dukun beranak yang punya keterampilan dalam bidang tersebut.
Pemerintah juga punya program 'Suami Siaga' yang dimaksudkan untuk mendukung kondisi perempuan-perempuan yakni ibu rumah tangga yang menjalani fungsi reproduksinya.
Namun sayangnya, pemerintah melupakan faktor non-medis yang justru banyak berkontribusi terhadap Angka Kematian Ibu, yaitu faktor-faktor seperti budaya dan mitos yang berkembang di tengah masyarakat, seperti harus mempunyai anak laki-laki sebagai penerus marga (di beberapa daerah hal ini masih kuat), dan keyakinan atas interpretasi agama bahwa KB dilarang (sama seperti aborsi dilarang).
Ada lagi budaya menikahkan anak perempuan dalam usia dini (kawin dini) padahal saat dinikahkan organ-organ reproduksinya belum siap atau belum matang. Ini banyak terjadi di desa, bahkan di Jawa masih ada yang melakukan kebiasaan ini. Angka nikah dini masih tinggi di Pulau Jawa (apalagi di luar Jawa).
Kompleksnya permasalahan yang menaungi Angka Kematian Ibu ini harus segera diatasi, jika pemerintah menargetkan menurunkan AKI di tahun-tahun mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar